Sejarah Desa Banaran
31 Januari 2017 19:18:39 WIB
Pada pertengahan abad ke 18, terutama pasca perang Diponegoro, yaitu perang besar di tanah Jawa antara bangsawan Mataram bersama pengikutnya melawan pernjajah Belanda, yang mana Pangeran Diponegoro telah dikalahkan oleh Belanda dengan kelicikannya, sehingga banyak pengikut setia Pangeran Diponegoro tersebut melarikan diri dari kejaran tentara Belanda dan keluar dari daerah Maratam untuk mencari tempat yang aman guna menyusun kekuatan kembali atau mengobarkan semangat anti penjajahan.
Konon salah satu dari pengikut setia Pangeran Diponegoro yang masih kerabat kerajaan Mataram yang bernama Sentiko turut bergerilya bersama Pangeran Diponegoro menuju ke Timur sampai ke daerah-daerah pedalaman masuk hutan keluar hutan. Dan suatu ketika pengikut setia yang bernama Sentiko tertinggal dari Pangeran Diponegoro. Dan karena Ki Ageng Sentiko dalam ikut bergerilya bersama istrinya akhirnya tertinggal jauh dari rombongan Pangeran Diponegoro dan akhirnya beliau memutuskan untuk tidak melanjutkan bergerilya bersama Pangeran Diponegoro. Akhirnya Ki Ageng Sentiko memutuskan untuk menetap dan tinggal di tempat itu, dan pada saat itu Desa Banaran masih berbentuk hutan belantara. Dengan tenaga yang ada, Ki Ageng Sentiko bersama istrinya mulai berfikir untuk menata hidup baru dari tempat yang ditempati sekarang. Karena kebutuhan sehari-hari sangat sulit pada waktu itu, maka beliau mulai membuka hutan yang kelak akan dijadikan tempat tinggal dan lahan pangan, dan akhirnya mereka berdua mulai membabat hutan yang lebat itu, dengan kesabaran dan kerja yang keras akhirnya mereka berhasil membabat hutan belantara itu dengan suatu halangan apapun. Mengingat beliau juga Punggawa Mataram, yang juga memiliki ilmu kesaktian, beliau bisa melihat tempat-tempat yang lebih aman untuk ditempati. Karena secara pandangan rohani hutan yang telah berhasil dibabat kelihatan terang, atau padang dalam bahasa Jawanya, dan secara nyata juga banar dalam bahasa Jawanya : maka daerah yang telah dibabat tadi dinamakan Desa Banaran, atau Banaran Tawang. Banar yang artinya cerah atau padang, Tawang artinya angkasa atau langit, jadi Banaran tempat yang cerah, atau terang secerah langit.
Karena beliau orang yang gigih dan mempunyai tekad baja, beliau tidak mau berhenti membabat sampai di situ. Beliau memperluas babatannya ke arah baran dan di situ beliau menemui sedikit kesulitan, karena sewaktu membabat tempat itu sangat banyak batu-batuan yang besar-besar. Karena terlalu banyaknya batu-batu yang ada di situ, kemudian tempat itu dinamakan Kedungwatu dan Kedungwatu adalah salah satu pedukuhan yang ada di Desa Banaran, termasuk Dukuh Ganggeng dan Genengan. Dan setelah pemerintah Orde Baru semua berubah. Desa Banaran yang dulu terdiri dari beberapa pedukuhan sekarang menjadi tiga dusun yaitu Krajan I, Krajan II dan Tawang. Dan kerena terbatasnya sumber informasi, maka kami belum bisa menguak misteri-misteri dari pedukuhan-pedukuhan yang lain dan akhirnya Ki Ageng Sentiko menetap di tempat itu yang sekarang menjadi Desa Banaran, dan wafat di Desa Banaran, dan dimakamkan di sebelah barat kantor desa, hingga sekarang masih dikeramatkan. Masyarakat Banaran menyebut makam itu dengan sebutan Makam Mbah Moro yang mempunyai nama sebenarnya Ki Ageng Sentiko. Karena beliau orang yang pertama datang dan membabat hutan menjadi Desa Banaran. Moro artinya datang, itulah sebutan populernya makam itu.
Layanan Mandiri
Silakan datang / hubungi perangkat Desa untuk mendapatkan kode PIN Anda.
Masukkan NIK dan PIN!
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Jumlah pengunjung |
- BIMBINGAN TEKNIS (BIMTEK) PEMUTAKHIRAN DATA SDGs DESA BANARAN
- Pertemuan kelas ibu balita Desa Banaran
- Penyaluran BLT Dana Desa Bulan Mei TA 2024 dan Penyerahan Bibit Kambing Program Ketahanan Pangan
- Peningkatan Kapasitas Satlinmas Desa
- Realisasi APBDesa Tahun 2023
- Infografis Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahun 2024
- Musdes Laporan Pertanggungjawaban Realisasi APBDes Tahun Anggaran 2023